Ibu Pemersatu Bangsa, Zaman Old versus Zaman Now

Selly Afrida Olta.
Selly Afrida Olta.

Apa yang anda pikirkan jika melihat tulisan atau mendengar kata “Ibu Pemersatu Bangsa”? Apakah anda membayangkan para pahlawan wanita Indonesia? Atau beberapa tokoh perempuan di era kemerdekaan? Atau bahkan anda termasuk yang sudah update dengan istilah “pemersatu bangsa “ zaman now?

Bagi anda yang merasa belum update, silahkan ketik di search engine. Masukkan keyword “pemersatu bangsa” atau “ibu pemersatu bangsa”. Bagi kaum laki-laki, saya sangat tidak menyarankan anda untuk melanjutkan penelusuran!

Jika anda merasa miris dengan hasil pencarian tersebut, berbahagialah. Karena kemungkinan besar anda layak masuk kategori manusia Indonesia sejati yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, utamanya tentu nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Saya pun berharap termasuk di dalamnya.

Tulisan ini memang sengaja saya buat menyongsong hari Ibu 22 Desember. Tujuannya tentu agar kita bersama-sama merenungi, memikirkan, memaknai sosok ibu seperti apa sesungguhnya yang diharapkan untuk kemajuan bangsa ini.

22 Desember sembilan puluh tiga tahun yang lalu, Nyi. Hadjar Dewantara (Wanita Taman Siswa), Ny. Soekonto (Wanita Oetomo), Sujatin Kartowijono (Poetri Indonesia) adalah di antara tokoh perempuan Indonesia yang berupaya keras, menyelenggarakan sebuah pertemuan antar-wanita se-Indonesia demi persatuan nasional. Tiga kata terakhir ini saya kutip seperti yang dituturkan oleh Sujatin kepada Hanna Rambe yang dituliskan dalam buku otobiografi berjudul Mencari Makna Hidupku.

Demi persatuan nasional. Ya, itulah idealisme yang hendak diwujudkan. Bisakah anda membayangkan perjuangan para tokoh tersebut bisa menghadirkan lebih dari seribu orang di Yogyakarta, sebagian besarnya adalah kaum perempuan yang diutus dari 30 organisasi perempuan yang tersebar di Pulau Jawa dan sumatera? Padahal saat itu bangsa kita masih dalam kungkungan penjajah dan pada situasi di mana sarana komunikasi dan transportasi masih sangat terbatas. Itulah mereka. Ibu Pemersatu Bangsa yang sebenarnya. Apa yang dicari oleh Ibu Pemersatu Bangsa zaman old ? Tidak lain adalah meninggikan, mengangkat memperjuangkan derajat dan martabat kaum perempuan.

Lalu bagaimana ibu pemersatu bangsa zaman now?

Istilah  “pemersatu bangsa” itu berawal dari joke yang dipopulerkan oleh seorang youtuber yang sepertinya cukup terkenal di tanah air. Sayangnya lelucon ini kemudian seakan melekat pada sosok perempuan yang dimaksud, kemudian menyusul beberapa figur perempuan lain yang ber ”genre” sama. Joke ini diangkat karena para perempuan tersebut dianggap bisa menyatukan para netizen yang biasanya terpecah dan ribut karena berbeda pandangan politik, namun seakan menjadi bersatu dan damai dalam “selera” yang sama; sama-sama menyukai figur perempuan tersebut.

Bagi saya adalah sebuah ironi, ketika diksi “Ibu Pemersatu Bangsa” atau “Perempuan Pemersatu Bangsa” mengalami degradasi makna secara ideologis. Aslinya kata “Pemersatu Bangsa” di Indonesia lekat dengan Pancasila dan Bahasa Indonesia. Dua alat pemersatu bangsa tersebut secara ideologis tentu memiliki nilai yang tinggi, kemuliaan dan keagungan tersendiri. Demikian pula dengan “Ibu Pemersatu Bangsa”, idealnya haruslah memiliki nilai-nilai tersebut. Seorang “Ibu Pemersatu Bangsa” sejatinya dikenal karena prestasi positifnya, bukan semata-mata karena meraih ratusan, ribuan, jutaan follower atau subscriber hasil dari memamerkan tubuhnya. Ironisnya lagi, sebagian besar follower tersebut adalah kaum laki-laki.

Mudah-mudahan saya bukan satu-satunya ibu yang resah dengan tren kaum ibu yang gemar bermedsos ria hanya untuk pamer, pansos (social climbing) atau hanya sekedar iseng. Mungkin kita semua sudah paham bahwa kemajuan teknologi seperti pisau bermata dua, di satu sisi bisa membawa dampak positif, di sisi lain dapat mengakibatkan dampak negatif. November 2020 Di Lubuk Minturun Koto Tangah Kota Padang, seorang ibu disiram minyak panas oleh suaminya karena diduga suami cemburu istrinya terlalu sering bermain aplikasi tik tok. Karena alasan yang sama, pada Oktober 2021, tersiar berita seorang istri di Surabaya dipukul oleh suaminya dengan menggunakan linggis hingga berujung maut. Belum lama ini, November 2021, di Desa Besakih Kec. Rendang Kabupaten Karangasem Bali, istri dipukul suami, ditelanjangi, diseret dengan menjambak rambutnya hingga sekitar 50 meter, juga ditengarai karena aktivitas sang istri di media sosial.

Betapa memilukan jika sosok ibu yang seharusnya melahirkan peradaban menjadi terhina bahkan mati sia-sia hanya karena tidak bijak dalam berperilaku. Dan tak kalah menyedihkan jika ketidakbijakan dalam berperilaku itu justru diterima oleh orang banyak, bahkan seakan diapresiasi hingga mendapat julukan yang sebetulnya tidak patut untuk dilekatkan.

Betapa memilukan jika kaum ibu justru melakukan hal-hal yang membuat objektifikasi terhadap perempuan semakin meningkat. Padahal di sisi lain banyak kaum perempuan termasuk kaum feminis, berupaya keras menolak dan menghentikan segala upaya dan perbuatan yang menjadikan perempuan sebagai objek, terutama objek seksual.

Menurut Sigmund Freud, kaum perempuan memang memiliki kecenderungan narsis lebih tinggi dari pada laki-laki. Pendapat Freud ini diperkuat oleh banyak peneliti lain setelahnya. Namun seandainya pun banyak kaum ibu yang tidak mampu membendung hasrat narsisnya, alangkah baiknya jika kaum ibu dapat memanfaatkan media sosial menjadi tempat menebar kebaikan dan kemanfaatan sehingga dapat mengangkat  harkat dan martabat perempuan, bukan justru menjatuhkannya.

Berkaca dari sejarah lahirnya Hari Ibu, para perempuan pelopor Kongres Perempuan pertama 22 Desember 1928 mungkin tidak sedahsyat Laksamana Keumalahayati yang di tangannya berakhir petualangan seorang penjelajah ulung kelas dunia, Cornelis de Houtman. Mereka pun tidak sehebat Cut Nyak Dhien, Siti Manggopoh, Rasuna Said, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, R.A Kartini, Martha Christina Tiahahu, Maria Walanda Maramis dan sederet nama perempuan hebat lainnya dalam sejarah nusantara. Namun apa yang mereka perjuangkan jelas mengangkat derajat dan martabat perempuan, sehingga sangat layak mendapat julukan “Ibu Pemersatu Bangsa”. Semoga para ibu zaman now pun dapat melakukan hal serupa, bukan berlomba-lomba untuk mendapatkan banyak like, follower, subscriber lalu terlena dengan julukan Pemersatu bangsa, padahal sejatinya itu hanya kelakar atau bahkan olok-olok semata. ** Selly Afrida Olta

Penulis : Ibu Rumah Tangga, Pemerhati Sosial, DPP Gerakan Ibu Negeri

[tribulant_slideshow gallery_id=”3″]

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*