Solok,Editor,- Pancasila adalah ideologi bangsa Indonesia. Indonesia bersatu dalam keragaman suku, budaya, ras dan agama dibawah payung kebhinekaan.
Didalam pancasila termaktub janji besar bangsa indonesia yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Untuk mewujudkan janji besar itu harus meneguhkan sila yang ada dalam pancasila itu. Ketuhanan yang maha esa adalah kalimat yang mempersatukan segala agama dalam negara kesatuan kita. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah bentuk pengakuan dan kesepakatan bersama rakyat indonesia dalam menghargai perbedaan itu. Persatuan Indonesia adalah cara bagaimana bangsa indonesia tetap utuh dalam menjaga kemerdekaannya ditengah berbagai macam persoalan bangsa, kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan adalah bentuk pengakuan negara bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dinegeri ini. Melalui kesemua itu, terciptalah suasana aman dan diharapkan tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia dapat tercapai.
Oleh karena bangsa ini adalah bangsa yang besar maka sudah sepatutnya kita mengarifi pancasila itu sebagai benteng pertahanan yang unggul dalam segala bidang pertempuran. Pancasila adalah pertahanan kokoh bangsa kita agar tidak mudah dipecah dan dihancurkan oleh bangsa lain didunia. Bangsa Indonesia damai dalam semangat pancasila.
Pemerintah melalui program revolusi mentalnya seolah-olah sadar bahwa harus ada upaya bersama meneguhkan semangat pancasila itu. Namun praktiknya, revolusi mental seolah didoktrin oleh berbagai kepentingan politik hingga polemik yang dihadapi negeri ini tidak kunjung usai. Banyak pekerjaan rumah yang belum tuntas oleh pemerintah dan wakil rakyat yang berdaulat itu. Perbedaan pendapat hari ini seolah-olah menjadi pemicu permasalahan bangsa. Masih pentingkah pancasila jika elit politik terus mempertontonkan perilaku yang seolah-olah tidak berdaulat?
Begini, pancasila penting bahkan sangat penting untuk dipertahankan eksistensinya agar tidak hancur negeri kita ini. Menghentikan praktik politik adu domba adalah cara bijaksana yang perlu dilakukan. Didalam bahasa belanda jenis ini disebut devide et impera.
Hari ini memang sangat kental terlihat praktik politik devide et impera ini. Sedikit saja urusan dibesar-besarkan hingga situasi menjadi tidak aman. Bukankah kita sepakat untuk bersatu dalam keragaman? Mirisnya lagi, politik jenis itu dipertontonkan langsung oleh aktor-aktor politik yang diduga takut kehilangan kekuasaan. Ia berdiri didua situasi ; ia berdiri mendukung satu kelompok tapi dilain pihak ia bahkan membenci kelompok tersebut.
Secara nasional kita sudah memiliki aturan yang jelas tentang politik dan pemerintahan. Kita sudah punya regulasi mengenai tata cara berpolitik. Tapi kenapa lawan dipatahkan dengan politik adu domba, memalukan. Takut kalah, bantai lawan dengan fitnah yang kejam. Katanya, ialah yang paling benar. Oranglain seakan-akan salah dan tidak pantas meraih posisinya dalam politik. Bukankah dinegeri ini setiap orang memiliki hak yang sama dalam politik dan pemerintahan?, anak-anak sekolah diajarkan menjadi manusia yang punya sopan santun, tapi dalam politik sopan santun yang diajarkan kala sekolah itu entah dimana ia tempatkan, mungkin di tong sampah.
Adapula yang tanpa disadari, praktik devide et impera merambah hingga ke akar rumput. Ada jelata yang menjadi korban kekuasaan. Jelata bisa apa saat berhadapan dengan penguasa. Sejak dulu kala hingga kini jelata hanyalah seorang yang dianggap apabila dia dibutuhkan. Ketika kekuasaan telah diraih dan jelata bertanya ; pak, bagaimana soal janji bapak untuk membangun kampung kami. Ia menjawab ; ini sedang kita usahakan. Namun setelah sedemikian lama tidak ada reaksi balasan yang diterima sijelata. Lantas, janji politik kesejahteraan untuk siapa.
Janji politik saat itu tinggal janji saja, pekik jelata siapa yang tahu. Kalau sudah begitu, siapa yang salah, rakyatkah? Ah… entahlah. Yang jelas politik itu teka-teki. Ia bisa saja menyerang dalam bertahan.
Kemampuan rakyat yang minim dibidang politik dan pemerintahan seolah-olah menjadi ladang janji yang sangat mudah sekali digarap oleh para orator dan politisi itu. Tidak jarang politik mempertontonkan praktik adu domba ditengah massa hingga berimbas kepada keluarga sebagai kelompok terkecil dalam masyarakat. Kalau sudah begini, sudah seharusnya kita sadar bahwa praktik politik adu domba warisan kolonial belanda tidak cocok dibumi kita, Indonesia. Kalau tidak cocok, ya tinggalkan. Usah diperturutkan, gila nanti !
Akhirnya, ada baiknya kita menelaah dan mengkaji ulang bagaimana kebebasan berpolitik itu. Tidak perlulah kita memburuk-burukan oranglain yang bisa saja membawa perpecahan, tidak usah kita timbulkan nestapa diatas kemenangan. Biarkan jelata hidup tenang. Jelata itu tak mengerti apa-apa. Mari pedomani lagi pancasila sebagai dasar negara kita agar kita jauh dari praktik politik adu domba itu tadi. Mari kita berpolitik dengan taratik yang baik karena itu yang kita yakini dan kita sepakati dalam pancasila. Ingat, memalukan jika politik adu domba ( devide et impera ) itu terus dipertahankan dan dipertontonkan oleh kalangan elit dan kalangan terdidik seperti yang terjadi hari ini, bersainglah secara sehat. Jaga persatuan dan kesatuan serta wujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang berdaulat itu.**Riko
Leave a Reply