Membangkit Batang Terendam Minangkacau

(22)

Julia Maya Panyalai menarik mikrofon itu, lalu meletakkannya ke depan mukanya.

“Kita masuki agenda kedua. Kawan-kawan, apakah rencana kegiatan tindak lanjut pasca peninjauan dan pengamatan gaya hidup dan perilaku umbuik mudo di kelima nagari asa nenek kita ini, udah bisa ditetapkan sebagai Rencana Kegiatan Sinerji Program Bhakti Sosial para tunduik dan anggota PPM Dunia pulang basamo?” kata Julia MayaPanyalai melempar ide.

“Udah!” jawab kawan-kawannya serentak.

“Baik. Kita lanjut ke agenda ketiga, membahas rencana dan sumber biaya, dan teknis pelaksanaannya. Seksi ini dipimpin Uda Viktor Tanjung, Koordinator Pulang Basamo Anggota Persatuan Pemuda Maya atau PPM Dunia didampingi Pak Wali Nagari Marapi, dipersilahkan,” kata Julia Maya Panyalai, lalu menyerahkan mikrofon kepada Viktor Tanjung yang duduk di sebelah kanannya.

Setelah meraihnya, Viktor Tanjung meletakkan mikrofon itu ke depan mukanya, lalu menarik napas beberapa jenak. Peserta dan undangan menunggu dengan diam.

“Tunggu!” sela seseorang dengan kerasnya dari belakang aula.

Peserta dan undangan menoleh ke arah datangnya suara tetapi tidak diketahui orangnya.

“Siapa?” tanya Viktor Tanjung.

“Saya. Parewa, Ketua Persatuan Urang Sumando Nagari Marapi,” katanya dari tempat duduknya.

Viktor Tanjung melirik Julia Maya Panyalai. Julia Maya Panyalai tersenyum dan menarik mikrofon ke depan mukanya.

“Silahkan,” kata Julia Maya Panyalai.

Panjul Jambak, melangkah mendekat, lalu menyerahkan Toa kepada Parewa.

“Kami ingin tahu, apa niat kalian pulang basamo ke Ranah Minang?” tanya Parewa.

“Berbuat kebajikan dan kebaikkan di nagari asa nenek dan kakek sehingga hidup dan kehidupan masyarakatnya nyaman dan sejahtera berdasarkan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah dengan menegakkan syarak mangato adat mamakai,” jawab Julia Maya Panyalai.

“Berarti kalian ingin membangkit batang terendam?”

“Bagi orang lain mungkin itu maksud dan maknanya. Bagi kami, untuk mengumpulkan amal ibadah sebanyak-banyaknya untuk modal setelah berpulang ke Rahmatullah kelak!”

“Maksud dan tujuan kalian pulang kampung sangat idealis, tetapi tidak mungkin jadi kenyataan …”

“Kenapa?” tanya Julia Maya Panyalai.

“Ninik mamak dan alim ulama yang duduk di depan kita ini, sudah terbiasamenghamba kepada materialisme dan hirarki jabatan fungsional adat dan agama. Sedang umbuik mudo nagari pada umumnya tidak ingin terkungkung oleh aturan adat dan agama. Apalgi sejak PRRI meletus hingga modernisasi sekarang kemenakan dibesarkan dengan beras dibeli bukan dengan beras dari hasil padi sawah pusaka tinggi. Di samping itu, kemenakan sekarang dididik dan dilatih kecakapan untuk hidup oleh ayahnya, bukan oleh mamaknya,” kata Parewa sambil melirik Pandeka.

“Uda Parewa, bukankah mamangan adat menyatakan “kemenakan seperintah mamak, mamak seperintah penghulu, penghulu seperintah nan bana, nan bana berdiri dengan sendirinya,” tukas Julia Maya Panyalai.

“Itu di Ranah Minang zaman saisuak. Sekarang tidak,” kata Parewa.

“Kenapa sampai gitu? Tolong Uda Parewa jelaskan,” kata Julia Maya Panyalai.

“Di zaman saisuak, urang Minang belum begitu banyak. Orang Minang kaya dengan pusaka tinggi berupa

sawah, kolam ikan dan ladang. Urang sumando hanya berperan sebagai tamu malam, atau pelanjut keturunan. Anak-anaknya dibesarkan oleh hasil sawah, kolam ikan dan ladang yang diolah oleh mamaknya, baik kakak atau adik ibunya. Datuk sebagai penghulu suku atau kaum punya sawah kagadangan. Diolah oleh kemenakan. Hasil padinya dijual dan digunakan datuk penghulu kaum untuk mengurus sanak-kemenakannya,” jelas Parewa.

“Uda Parewa, apakah tugas fungsional datuk penghulu kaum zaman saisuik itu, bisa difungsikan kembali di zaman sekarang?” tanya Julia Maya Panyalai.

“Bisa apabila ada pihak yang memberi honor bulanannya,” jawab Parewa.

“Benar. Tolong adik-adik carikan donatur bulanannya!”sela Pandeka.

Peserta dan undangan pada mehengong ke arah Pandeka. Pandeka tersenyum sambil memilin kumisnya.

“Uda Parewa, udah selesai?” kata Julia Maya Panyalai.

“Belum,” jawab Parewa sambil memilin kumisnya.

“Silahkan lanjutkan,” kata Julia Maya Panyalai.

Parewa menarik napasnya beberapa jenak.

“Parewa, sampaikan sajalah. Mungkin berguna bagi adik-adik ini,” kata Pandeka dari tempat duduknya.

(Bersambung)